Tantangan Muslimah yang Singgah di Jepang

Negara jepang bukanlah negara yang mayoritas penduduknya islam. Kita tahu itu. Sebagian besar penduduknya menganut ajaran sinto. Beberapa mulai menganut agama kristen. Sedangkan agama lainnya hanyalah sebagian kecil termasuk agama islam. Namun pesona jepang dengan baju kimononya, alamnya, bunga sakuranya, kebudayaan dan tradisinya, metropolitannya dan lain-lainnya, tidak sedikit muslimah yang ingin berkunjung ke negara sakura. Termasuk saya, yang ingin sekali bisa ke sana. Setelah sampai di sana barulah menyadari, butuh hati yang lebih kokoh untuk tinggal di sana dibanding hidup di negara sendiri hehehe..

Kenapa hati harus lebih kokoh? karena untuk hal urgent shalat 5 waktu peluang meninggalkannya sangat besar. Perlu diketahui, saat musim gugur disana, waktu shalat maju sekitar 1 jam. Awalnya tidak tau. Saat pertama sampai sana, pengenalan di sekolah kemudian mengenal daerah wisata disana, saya pikir jam 4 sore masih luang untuk waktu shalat ashar karena waktu itu mendung, saya tidak menyadari. saat itu masih perjalanan. Dan ya sampai di asrama jam setengah 5 dan langit sudah mulai redup. Jam 5 langit sudah gelap. Saya bingung dengan kejadian itu. Saya tetap melaksanakan shalat ashar. Meskipun entah diterima atau tidak. Wallahu'alam. 

Jika untuk kegiatan antara sekolah dan asrama sebenarnya tidak terlalu bermasalah untuk jadwal shalat karena di asrama bisa bebas beribadah di kamar masing-masing dan untuk di sekolah pihak sekolah memberikan ruangan serbaguna untuk digunakan beribadah. Alhamdulillah aman, tinggal kita saja yang harus perhatian melihat jam karena di sana tak sekalipun mendengar adzan berkumandang :'(

Ketika jadwal wisata, jangankan di Jepang, wisata di negara sendiri saja sering keteteran ataupun mengulur-ngulur waktu shalat. Padahal hampir di setiap obyek wisata memiliki musollah atau bisa mampir di pom bensin maupun masjid di pinggir jalan. Ketika Jadwal wisata ke kota Sapporo, Hokkaido kita berangkat pagi dan pulang malam. Dan ya, mau tidak mau shalat di perjalanan wisata. Karena memakai bis pribadi jadi amanlah bisa shalat di dalam bis. Meskipun untuk wudhu harus di wastafel toilet sambil "tidak percaya diri" ketika ada orang yang masuk ke toilet karena takut dibilang aneh di musim gugur yang cukup dingin ini ada manusia asing yang menggunakan tutup kepala yang melakukan aktifitas aneh. Huaa.. ampuni kekerdilan hatiku ini, Tuhan :(

Hal yang menantang adalah ketika wisata di Tokyo. Sebenarnya untuk di Tokyo tidak se-ekstrim di Hokkaido yang tidak terlihat ada tanda-tanda orang muslim. Di Tokyo banyak ditemukan wisatawan muslim ataupun mahasiswa muslim yang memakai jilbab berlalu lalang mengunjungi Asakusa, Harajuku, Shibuya, Daiba dan tempat-tempat keramaian Tokyo lainnya. Namun bukan berarti lebih mudah dibandingkan dengan di Hokkaido. Ketika jalan-jalan ke sana kemari seharian, berarti harus mau shalat di tempat umum. Karena di sana bukan negara yang di sudut mallnya ada musollah heheh.. Bukan pula yang di pinggir jalan setiap 500 meter ada masjid berdiri tegak. Untungnya setiap pergi kemana-mana selalu bersama-sama dengan teman satu Indonesia jadi masih bisa saling menjaga ketika mau shalat. Rasanya nggrentes ketika shalat di tempat umum, berasa seperti jadi orang yang mencari perhatian mereka yang tidak tahu saya sedang shalat. 

Dibalik itu semua, menjadi rasa syukur tersendiri ketika kembali ke Indonesia. Bisa mendengarkan adzan setiap kali masuk waktu shalat, diberi kemudahan dengan fasilitas ibadah di mana-mana, tinggal kita saja mau beribadah atau tidak.


Keramaian di O Daiba, Tokyo